10.31.2012

Perlukah Pemberian Label pada Makanan Transgenik?

Mulai tahun 1996, makanan transgenik mulai dikenalkan kepada publik Amerika Serikat dan mulai membanjiri pasar kebutuhan makanan. Sejak diperkenalkan tahun 1996 hingga sekarang, belum ada aturan yang jelas tentang pengujian makanan transgenik serta peraturan mengenai kewajiban produsen untuk memberikan label GMO pada kemasan makanan. Hal itu membuat warga Amerika Serikat, khususnya di negara bagian California melakukan kampanye "Yes on 37" untuk mendukung kewajiban pelabelan makanan transgenik. Berdasarkan artikel VOA tanggal 25 Oktober 2012, kampanye tersebut akan dibahas dalam referendum yang diselenggarakan pada bulan November mendatang.

Belum adanya aturan mengenai pemberian label pada makanan transgenik juga terjadi di negara tetangga Amerika Serikat, Kanada. Berbeda dengan di 40 negara lainnya termasuk Australia, Jepang, dan negara-negara di Uni Eropa yang telah memiliki regulasi yang ketat mengenai pemasaran makanan transgenik, termasuk pemberian label kemasan. Lalu apakah sebenarnya yang dimaksud dengan makanan transgenik?

Makanan transgenik merupakan bahan makanan yang berasal dari organisme hasil rekayasa genetika atau GMO
(genetically modified organism), yaitu organisme yang mengandung gen dari spesies lain yang dihasilkan dari teknologi DNA rekombinan. Teknologi DNA rekombinan merupakan teknik menggabungkan DNA suatu organisme dengan DNA organisme lain. Bisa dikatakan bahwa organisme trasngenik merupakan mutan, karena secara genetik dan fenotip sifat yang dimiliki organisme tersebut berubah dari sifat aslinya. Sejauh ini penelitian membuktikan bahwa tumbuhan lebih mudah direkayasa daripada sebagian besar hewan. Tumbuhan yang pertama kali direkayasa genetik yang diterima FDA (Food and Drug Administration--sejenis BPOM di Amerika Serikat) ialah tomat yang direkayasa dengan gen untuk memperlambat pembusukan. Khususnya di Amerika Serikat, tumbuhan yang paling banyak direkayasa antara lain jagung, kapas (di Amerika Serikat minyak biji kapas banyak digunakan sebagai minyak sayur), kedelai, dan bit gula. Banyak tanaman budidaya juga dibuat lebih produktif oleh rekayasa genetik dengan cara membesarkan bagian-bagian akar, batang, daun, bunga atau menghilangkan biji.

Photo credit: G. Munkvold via www.apsnet.org
Jagung transgenik resisten jamur (kiri), jagung nontransgenik (kanan) menunjukkan jagung ditumbuhi jamur.

Akan tetapi makanan transgenik memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang kemungkinan potensi berbahaya bagi kesehatan. Muncul kekhawatiran makanan transgenik akan menghasilkan toksik atau menyebabkan alergi bagi sebagian orang. Ada perdebatan tentang bahaya yang ditimbulkan oleh makanan transgenik, sebagian ilmuwan menyatakan bahwa organisme transgenik tidak jauh berbeda dengan organisme hasil perkawinan-silang tradisional atau hibridisasi. Karena tidak pernah ada organisme hibrid yang diuji sebelum dilepas ke pasaran, hal itu dijadikan alasan bahwa organisme transgenik tidak perlu diperlakukan dengan berbeda. Pengujian makanan transgenik biasanya mencakup memberi makan hewan uji selama 90 hari untuk uji toksikologi. Hal itu sama seperti pengujian terhadap pengujian bahan makanan lain selain makanan transgenik.

VOA dalam laporan beritanya pada tanggal 25 Oktober 2012 menyatakan bahwa belum lama ini sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Food and Chemical Toxicology melaporkan bahwa pemberian jagung transgenik selama dua tahun menyebabkan tumor pada tikus percobaan. Alison van Eenennaam, pakar toksikologi dari Universitas California dalam artikel VOA menyatakan bahwa penelitian tersebut bersifat lemah dan dinilai hanya bertujuan untuk menciptakan ketakutan dalam benak konsumen. Otorita Keamanan Pangan Eropa juga meragukan penelitian tersebut karena tidak cukupnya hewan kontrol serta metode analisis yang di bawah standar. Tetapi publik Amerika Serikat tetap menuntut FDA untuk membuat regulasi yang ketat mengenai pengujian makakan transgenik terutama pemberian label pada kemasan makanan hasil rekayasa genetik. Hal ini bertujuan untuk memberi hak kepada konsumen untuk mengetahui bahan makanan yang mereka pilih.

Photo credit: Daniel Goehring
Lalu bagaimana dengan makanan transgenik di Indonesia? Makanan transgenik sudah cukup populer di masyarakat Indonesia--terutama kedelai dan jagung impor--meskipun pengetahuan masyarakat akan makanan transgenik masih minim. Di Indonesia juga belum ada kewajiban pemberian label pada makanan olahan yang mengandung bahan trasngenik. Menurut Kepala BPOM Lucky S. Slamet, pelabelan pada makanan transgenik hanya untuk mempermudah konsumen dalam memilih bahan makanan, dan tidak berkaitan dengan keamanan produk. Karena keamanan pangan trasngenik di pasaran sudah dijamin pemerintah melalui BPOM.

Menurut saya, pemberian label pada makanan transgenik penting dilakukan sebagai upaya untuk memenuhi hak konsumen yaitu hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur. Selain itu, hal yang jauh lebih penting adalah memperketat pengujian dan uji keamanan pangan, jangan sampai pengujian dilemahkan hanya untuk perkara meraup untung sebesar-besarnya. Karena umumnya produksi makanan transgenik dilakukan demi melakukan prinsip ekonomi. Jangan sampai hal itu malah merugikan kesehatan manusia dan juga lingkungan sekitar.Mengenai ancam an-ancaman potensi bahaya makanan transgenik bagi kesehatan dan lingkungan, saya harap hal itu tidak mengganggu perkembangan teknologi rekayasa genetik dalam bidang pertanian, karena hal itu justru akan menghambat perkembangan ilmu pengetahuan. Jika ditanya "apakah saya pro makanan transgenik atau organik?", maka jawaban saya adalah pro untuk keduanya ;)


Referensi: 1 | 2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 |

0 comment:

Post a Comment

Thank you for sharing your thoughts ☺